Senin, 26 Maret 2012

Agama dan Keluarga Yang Sehat, Orang Tua Harus Jujur dalam Berbicara dan Berperilaku


Sebagaimana yang telah kita bahas pada pertemuan sebelumnya bahwa proses beragama dan beriman kepada nilai-nilai agama itu sendiri akan tampak sesuai dengan jenjang usia dan perkembangan jiwa seseorang. Jelas bahwa pengenalan terhadap jenjang usia dan kebutuhan-kebutuhan emosional anak-anak serta remaja dapat membantu orang tua dalam membentuk identitas keagamaan anak-anak mereka. Ajaran agama akan bernilai bagi anak-anak saat ajaran itu berhubungan dengan kebutuhan internal mereka. Sementara tugas orang tua dan tenaga pendidik adalah memperkenalkan ajaran-ajaran agama kepada anak-anak mereka sesuai dengan tingkatan usia.
 
Jika Anda masih ingat, pada penjelasan sebelumnya kami telah memaparkan bahwa kecenderungan batin orang dewasa terhadap perkara spiritual sangat berpengaruh bagi anak-anak. Terkadang kejujuran dan kesucian jiwa orang tua serta tenaga pendidik lebih berpengaruh ketimbang pendidikan agama yang disampaikan secara lisan dan langsung kepada mereka. Oleh sebab itu, orang tua perlu memperhatikan pensucian jiwa, keikhlasan, dan kejujuran dalam berperilaku serta berucap.
 
Sebagaimana yang telah diteliti dan dikaji oleh para psikolog, kesadaran beragama sama halnya dengan kebutuhan dan proses psikologis lainnya juga memiliki klasifikasi usia. Tahap pertama adalah fase perilaku dan sikap meniru. Pada fase ini, seorang anak akan meniru dan mengikuti amal ibadah orang tua mereka secara lahiriyah. Sebagai contoh, ketika orang tua menunaikan shalat, anak-anak mereka juga akan mengikutinya meski tanpa mengetahui esensi dan nilai di balik ibadah tersebut. Mereka akan melakukan gerak-gerik yang sama seperti, berdiri tegak, ruku', dan sujud. Perilaku meniru ini meski tidak menyentuh esensi perbuatan, namun para psikolog berkesimpulan bahwa dimensi lahiriyah amal ibadah akan berpengaruh bagi sudut pandang regili anak-anak. Keadaan ini biasanya dimulai dari usia empat tahun hingga enam tahun.
 
Tahap kedua proses pendidikan agama diperuntukkan untuk anak-anak yang berusia antara 6 hingga 11 tahun. Pada fase ini, seorang anak selain bersikap meniru, mereka juga terpengaruh oleh emosional, perasaan, dan kasih sayang orang tuanya dalam bidang agama. Kecenderungan dan kesenangan untuk beribadah akan membentuk dalam diri anak-anak. Semakin besar ekspresi dan penghayatan orang tua dalam melaksanakan amal ibadah dan kewajiban agama, maka anak mereka juga semakin dapat merekam secara detail gerak-gerik itu dalam memori mereka. Bahkan dengan sendirinya mereka akan tertarik untuk menunaikan kewajiban agama seperti berpuasa. Saat mereka sibuk beribadah, manifestasi perasaan hati mereka akan dipersembahkan kehadirat Allah Swt. Perasaan suci ini akan membentuk pilar-pilar keimanan mereka di masa mendatang.
 
Fase ketiga pertumbuhan kesadaran beragama bersamaan dengan masa remaja, yaitu antara usia 11 tahun hingga 16. Pada masa itu, kecenderungan emosional dan kasih sayang secara perlahan digantikan oleh fase argumentatif dan dalil. Pada fase ini, anak-anak remaja menerima ajaran agama dan ritual ibadah lewat argumentasi dan dalil. Tahap ini merupakan fase penting dan sensitif dalam pendidikan agama.
 
Tahap terakhir dalam pendidikan agama adalah fase irfani (Gnostic/Mysticism). Sebagaimana yang telah kami singgung pada pertemuan lalu, tahap ini oleh para psikolog disebut fase "Pengembangan Mazhab". Dalam fase ini, seorang individu selain bersandar pada argumentasi, juga memiliki eksperimen dan perasaan batin terhadap ajaran agama. Namun, keberhasilan dalam fase terakhir ini akan terwujud ketika seseorang telah melalui proses alamiah dan logis fase-fase sebelumnya.
 
Oleh sebab itu, perubahan kesadaran beragama dan fase-fasenya menunjukkan keberadaan sebuah kebutuhan dasar terhadap agama yang tertanam dalam konstruksi jiwa dan fitrah manusia. Kondisi pendidikan yang mendukung dan ketiadaan hambatan dalam keluarga akan mendorong berkembangnya kesadaran beragama dalam diri kaum remaja dan pemuda.Setelah menyimak pemaparan tahapan-tahapan dalam pendidikan agama, maka dapat kita simpulkan bahwa pembekalan pendidikan agama harus sesuai dengan usia, kapasitas mental, dan daya pikir anak-anak dan remaja.
 
Jika pesan-pesan moral dan religi tidak sesuai dengan watak dan daya pikir anak-anak serta remaja, proses pendidikan agama akan mengalami masalah. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan, "Jika materi pelajaran tidak sesuai dengan tabiat manusia dan tidak membantu nalar mereka, maka ilmu yang diperoleh tidak akan membuahkan hasil." Terkait orang-orang yang tidak mengembangkan daya pikirnya, Imam Ali as mengatakan, "Mereka sama seperti orang buta yang dipancari sinar matahari." Artinya, jika kapasitas internal dan daya pikir seseorang tidak siap untuk menerima ilmu dan pengetahuan, maka pendidikan dan pengajaran tidak akan berguna baginya.
 
Masih ada faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam proses pendidikan agama selain kesiapan internal tadi. Salah satu dari faktor itu adalah mengenal kebutuhan. Psikolog Perancis, Henry Wallen mengatakan, "Anak-anak dan remaja hanya tertarik pada hal-hal yang sesuai dengan selera dan keinginannya." Interaksi yang baik dan efektif akan tercipta ketika muatan pesan kita sesuai dengan keinginan dan kebutuhan internal seseorang. Dalam menyampaikan pesan pendidikan dan moral yang pertama kali harus diperhatikan adalah ketertarikan dan rasa suka anak-anak serta remaja. Kalau ketertarikan itu belum muncul, pendidik harus berupaya melahirkan kondisi tersebut.
 
Imam Ali bin Abi Thalib as dalam kitab Nahjul Balaghah, hikmah ke-184 memaparkan poin yang sangat penting berkaitan dengan masalah tersebut. Imam Ali as mengatakan, "Ketahuilah bahwa dalam hati terdapat dua potensi yaitu kesenangan dan kebencian. Oleh karena itu, berusahalah untuk mengambil hati manusia lewat hal-hal yang mereka senangi dan cintai." Dalam lanjutan ucapannya, Imam Ali as berkata, "Jika hati diakrabkan dengan hal-hal yang dibenci dan bersifat paksaan, maka ia akan buta." Pemikir Syahid Murtadha Mutahhari dalam menjelaskan ucapan Imam Ali as ini mengatakan, "Jiwa dan hati manusia juga menderita rasa sakit dan kelelahan sama seperti badan dan jasadnya. Oleh karena itu, kita tidak boleh membebaninya dengan pemikiran-pemikiran rumit. Kita harus mengeluarkan hati dari rasa sakit dengan hal-hal yang menceriakan dan menyenangkannya."
 
Tekad kuat dan kesiapan hati dalam menerima sesuatu berperan sangat penting sampai-sampai pendidikan Islam menjadikan niat, kemauan dalam diri, dan kekhusyukan sebagai syarat utama dalam beribadah. Bagian-bagian penting lainnya dalam pendidikan agama adalah muatan dan isi pembicaraan serta pemilihan kosa kata yang sesuai dengan tingkat pemahaman, budaya, dan struktur pemikiran seseorang. Intonasi dan gaya bicara, kualitas dan kuantitas pesan, dan bahkan suara dan raut wajah pembicara dapat berpengaruh positif atau negatif bagi audien. Untuk itu, pesan-pesan moral dan pendidikan juga harus disampaikan secara profesional dan proporsional.
 
Pendidikan agama memberikan keindahan kepada anak-anak dan memahamkan mereka bahwa beragama dan bertuhan sebagai penyebab kebahagiaan, ketenangan jiwa, dan akan memahami kelezatan hakiki kehidupan ini. Kesadaran beragama akan mendatangkan kelembutan ruh dan kestabilan jiwa bagi seseorang. Orang tua harus berusaha membekali pendidikan agama untuk anak-anak dan remaja dalam lingkungan yang sehat, stabil, dan menarik.
 
Dalam pendidikan agama, pengembangan kesadaran bermazhab lebih utama ketimbang ilmu dan pengetahuan itu sendiri. Karena pendidikan agama hidup bersama kepercayaan-kepercayaan hati dan tidak hanya sebatas mengetahui dan mengumpulkan pengetahuan tentangnya. Jika agama membawa kesempurnaan bagi manusia, maka pendidikan tentang manifestasi keindahan agama akan melahirkan keceriaan, optimisme, dan gerakan konstruktif bagi anak-anak dan remaja. (IRIBIndonesia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar