Sebagaimana yang telah kita bahas pada pertemuan sebelumnya bahwa
proses beragama dan beriman kepada nilai-nilai agama itu sendiri akan
tampak sesuai dengan jenjang usia dan perkembangan jiwa seseorang. Jelas
bahwa pengenalan terhadap jenjang usia dan kebutuhan-kebutuhan
emosional anak-anak serta remaja dapat membantu orang tua dalam
membentuk identitas keagamaan anak-anak mereka. Ajaran agama akan
bernilai bagi anak-anak saat ajaran itu berhubungan dengan kebutuhan
internal mereka. Sementara tugas orang tua dan tenaga pendidik adalah
memperkenalkan ajaran-ajaran agama kepada anak-anak mereka sesuai dengan
tingkatan usia.
Jika Anda masih ingat, pada
penjelasan sebelumnya kami telah memaparkan bahwa kecenderungan batin
orang dewasa terhadap perkara spiritual sangat berpengaruh bagi
anak-anak. Terkadang kejujuran dan kesucian jiwa orang tua serta tenaga
pendidik lebih berpengaruh ketimbang pendidikan agama yang disampaikan
secara lisan dan langsung kepada mereka. Oleh sebab itu, orang tua perlu
memperhatikan pensucian jiwa, keikhlasan, dan kejujuran dalam
berperilaku serta berucap.
Sebagaimana yang telah
diteliti dan dikaji oleh para psikolog, kesadaran beragama sama halnya
dengan kebutuhan dan proses psikologis lainnya juga memiliki klasifikasi
usia. Tahap pertama adalah fase perilaku dan sikap meniru. Pada fase
ini, seorang anak akan meniru dan mengikuti amal ibadah orang tua mereka
secara lahiriyah. Sebagai contoh, ketika orang tua menunaikan shalat,
anak-anak mereka juga akan mengikutinya meski tanpa mengetahui esensi
dan nilai di balik ibadah tersebut. Mereka akan melakukan gerak-gerik
yang sama seperti, berdiri tegak, ruku', dan sujud. Perilaku meniru ini
meski tidak menyentuh esensi perbuatan, namun para psikolog
berkesimpulan bahwa dimensi lahiriyah amal ibadah akan berpengaruh bagi
sudut pandang regili anak-anak. Keadaan ini biasanya dimulai dari usia
empat tahun hingga enam tahun.
Tahap kedua proses
pendidikan agama diperuntukkan untuk anak-anak yang berusia antara 6
hingga 11 tahun. Pada fase ini, seorang anak selain bersikap meniru,
mereka juga terpengaruh oleh emosional, perasaan, dan kasih sayang orang
tuanya dalam bidang agama. Kecenderungan dan kesenangan untuk beribadah
akan membentuk dalam diri anak-anak. Semakin besar ekspresi dan
penghayatan orang tua dalam melaksanakan amal ibadah dan kewajiban
agama, maka anak mereka juga semakin dapat merekam secara detail
gerak-gerik itu dalam memori mereka. Bahkan dengan sendirinya mereka
akan tertarik untuk menunaikan kewajiban agama seperti berpuasa. Saat
mereka sibuk beribadah, manifestasi perasaan hati mereka akan
dipersembahkan kehadirat Allah Swt. Perasaan suci ini akan membentuk
pilar-pilar keimanan mereka di masa mendatang.
Fase
ketiga pertumbuhan kesadaran beragama bersamaan dengan masa remaja,
yaitu antara usia 11 tahun hingga 16. Pada masa itu, kecenderungan
emosional dan kasih sayang secara perlahan digantikan oleh fase
argumentatif dan dalil. Pada fase ini, anak-anak remaja menerima ajaran
agama dan ritual ibadah lewat argumentasi dan dalil. Tahap ini merupakan
fase penting dan sensitif dalam pendidikan agama.
Tahap terakhir dalam pendidikan agama adalah fase irfani
(Gnostic/Mysticism). Sebagaimana yang telah kami singgung pada pertemuan
lalu, tahap ini oleh para psikolog disebut fase "Pengembangan Mazhab".
Dalam fase ini, seorang individu selain bersandar pada argumentasi, juga
memiliki eksperimen dan perasaan batin terhadap ajaran agama. Namun,
keberhasilan dalam fase terakhir ini akan terwujud ketika seseorang
telah melalui proses alamiah dan logis fase-fase sebelumnya.
Oleh sebab itu, perubahan kesadaran beragama dan fase-fasenya
menunjukkan keberadaan sebuah kebutuhan dasar terhadap agama yang
tertanam dalam konstruksi jiwa dan fitrah manusia. Kondisi pendidikan
yang mendukung dan ketiadaan hambatan dalam keluarga akan mendorong
berkembangnya kesadaran beragama dalam diri kaum remaja dan
pemuda.Setelah menyimak pemaparan tahapan-tahapan dalam pendidikan
agama, maka dapat kita simpulkan bahwa pembekalan pendidikan agama harus
sesuai dengan usia, kapasitas mental, dan daya pikir anak-anak dan
remaja.
Jika pesan-pesan moral dan religi tidak sesuai
dengan watak dan daya pikir anak-anak serta remaja, proses pendidikan
agama akan mengalami masalah. Imam Ali bin Abi Thalib as mengatakan,
"Jika materi pelajaran tidak sesuai dengan tabiat manusia dan tidak
membantu nalar mereka, maka ilmu yang diperoleh tidak akan membuahkan
hasil." Terkait orang-orang yang tidak mengembangkan daya pikirnya, Imam
Ali as mengatakan, "Mereka sama seperti orang buta yang dipancari sinar
matahari." Artinya, jika kapasitas internal dan daya pikir seseorang
tidak siap untuk menerima ilmu dan pengetahuan, maka pendidikan dan
pengajaran tidak akan berguna baginya.
Masih ada
faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam proses pendidikan agama selain
kesiapan internal tadi. Salah satu dari faktor itu adalah mengenal
kebutuhan. Psikolog Perancis, Henry Wallen mengatakan, "Anak-anak dan
remaja hanya tertarik pada hal-hal yang sesuai dengan selera dan
keinginannya." Interaksi yang baik dan efektif akan tercipta ketika
muatan pesan kita sesuai dengan keinginan dan kebutuhan internal
seseorang. Dalam menyampaikan pesan pendidikan dan moral yang pertama
kali harus diperhatikan adalah ketertarikan dan rasa suka anak-anak
serta remaja. Kalau ketertarikan itu belum muncul, pendidik harus
berupaya melahirkan kondisi tersebut.
Imam Ali bin Abi
Thalib as dalam kitab Nahjul Balaghah, hikmah ke-184 memaparkan poin
yang sangat penting berkaitan dengan masalah tersebut. Imam Ali as
mengatakan, "Ketahuilah bahwa dalam hati terdapat dua potensi yaitu
kesenangan dan kebencian. Oleh karena itu, berusahalah untuk mengambil
hati manusia lewat hal-hal yang mereka senangi dan cintai." Dalam
lanjutan ucapannya, Imam Ali as berkata, "Jika hati diakrabkan dengan
hal-hal yang dibenci dan bersifat paksaan, maka ia akan buta." Pemikir
Syahid Murtadha Mutahhari dalam menjelaskan ucapan Imam Ali as ini
mengatakan, "Jiwa dan hati manusia juga menderita rasa sakit dan
kelelahan sama seperti badan dan jasadnya. Oleh karena itu, kita tidak
boleh membebaninya dengan pemikiran-pemikiran rumit. Kita harus
mengeluarkan hati dari rasa sakit dengan hal-hal yang menceriakan dan
menyenangkannya."
Tekad kuat dan kesiapan hati dalam
menerima sesuatu berperan sangat penting sampai-sampai pendidikan Islam
menjadikan niat, kemauan dalam diri, dan kekhusyukan sebagai syarat
utama dalam beribadah. Bagian-bagian penting lainnya dalam pendidikan
agama adalah muatan dan isi pembicaraan serta pemilihan kosa kata yang
sesuai dengan tingkat pemahaman, budaya, dan struktur pemikiran
seseorang. Intonasi dan gaya bicara, kualitas dan kuantitas pesan, dan
bahkan suara dan raut wajah pembicara dapat berpengaruh positif atau
negatif bagi audien. Untuk itu, pesan-pesan moral dan pendidikan juga
harus disampaikan secara profesional dan proporsional.
Pendidikan agama memberikan keindahan kepada anak-anak dan memahamkan
mereka bahwa beragama dan bertuhan sebagai penyebab kebahagiaan,
ketenangan jiwa, dan akan memahami kelezatan hakiki kehidupan ini.
Kesadaran beragama akan mendatangkan kelembutan ruh dan kestabilan jiwa
bagi seseorang. Orang tua harus berusaha membekali pendidikan agama
untuk anak-anak dan remaja dalam lingkungan yang sehat, stabil, dan
menarik.
Dalam pendidikan agama, pengembangan
kesadaran bermazhab lebih utama ketimbang ilmu dan pengetahuan itu
sendiri. Karena pendidikan agama hidup bersama kepercayaan-kepercayaan
hati dan tidak hanya sebatas mengetahui dan mengumpulkan pengetahuan
tentangnya. Jika agama membawa kesempurnaan bagi manusia, maka
pendidikan tentang manifestasi keindahan agama akan melahirkan
keceriaan, optimisme, dan gerakan konstruktif bagi anak-anak dan remaja.
(IRIBIndonesia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar