Sabtu, 17 Maret 2012

Abraham Merasa Akan Disingkirkan


Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham Samad mengatakan, isu perpecahan di antara pimpinan KPK, ditambah keretakan hubungan dia dengan penyidik, merupakan upaya untuk melengserkan dia dari lembaga itu.
 
Abraham menyatakan hal ini ketika menggelar konferensi pers bersama empat pemimpin KPK lainnya; Bambang Widjojanto, Busyro Muqoddas, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnain. "Dalam jangka panjang justru ingin menyingkirkan saya dari KPK," kata Abraham di kantor KPK, Jakarta, kemarin.
 
Sebelumnya, ada informasi puluhan penyidik mendatangi ruang Abraham pada Senin lalu. Mereka memprotes pengembalian beberapa penyidik KPK. Empat penyidik dipulangkan ke Markas Besar Kepolisian. Mereka adalah Afief Y. Miftach, Rosmaida, Hendy Kurniawan, dan Moch Irwan Susanto. Satu lagi, penyidik dari Kejaksaan Agung, Dwi Aries. Sebelumnya, Februari lalu, Direktur Penyidikan KPK Yurod Saleh juga dikembalikan ke kepolisian.
 
Informasi lain menyebutkan, dua di antara penyidik memang dinilai melanggar kode etik. Tapi tiga penyidik yang dipulangkan justru merupakan "tulang punggung" penyidikan sebuah perkara kakap. Inilah yang membuat rekan-rekan mereka bertanya-tanya.
 
Menurut Abraham, ada mekanisme soal penarikan kembali para penyidik ke kepolisian dan kejaksaan, dan setiap institusi memiliki kewenangan. "Apa kehebatan Abraham Samad bisa menelepon Kapolri, bisa menelepon Kejaksaan Agung, bisa mengintervensi? Itu sangat tidak mungkin," kata dia.
 
Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Taslim Chaniago, ikut prihatin dengan kemelut di KPK. Dia ragu soal kabar bahwa pemimpin KPK justru menghalangi pengungkapan kasus. DPR, kata dia, siap menampung pengaduan penyidik. Taslim menduga, upaya menghalangi pengungkapan kasus justru ada di level penyidik.
 
"Para penyidik ini sudah terlalu lama. Mereka sudah tahu cara memainkan kasus di KPK sehingga mereka tidak mau digeser," ujarnya.
 
Penyidik KPK Afief Y. Miftach, ketika dihubungi, tidak bersedia diwawancarai. "Saya sedang melakukan ekspose perkara," kata Afief. Ia tak menjawab telepon dan pesan pendek ketika Tempo menghubunginya lagi.
 
KPK Bukan Superman
 
Ketua KPK Abraham Samad mengatakan bahwa lembaganya bukanlah seperti tokoh kartun Superman, yang bisa bekerja seorang diri. "Kami diberikan tugas dan wewenang yang begitu besar, serta berharap ada sinergi dan dukungan dari teman-teman media," ujarnya dalam diskusi dengan media massa di gedung KPK.
 
KPK berencana menggelar diskusi setiap bulannya dengan media untuk menyampaikan kinerja dan upayanya dalam memberantas korupsi. "Ini pertemuan pertama sejak pelantikan pada 17 Desember 2011," ujar Abraham.
 
Abraham menambahkan, ini waktu yang tepat untuk membuktikan bahwa para pimpinan KPK tetap kompak. "Lihat, kami ini duduk berjajar dan tersenyum-senyum, masak dibilang ada perpecahan?" ujarnya sembari tertawa.
 
Hadir dalam diskusi ini pimpinan KPK lainnya yaitu Adnan Pandu Praja, Busyro Muqoddas, Zulkarnaen, dan Bambang Widjojanto.
 
Sementara itu, Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas mengaku tidak suka dengan banyaknya tekanan politik yang menyudutkan dari berbagai elite politik. Karena itu, Busyro pun memilih mengabaikan tekanan para politikus itu.
 
"Misalnya ada political pressing yang sering muncul, kadang-kadang di running teks (muncul) kasus Century sudah laik dinaikkan menurut Abraham dan Zulkarnaen," katanya. Namun, menurut Busyro itu menyesatkan dan tidak edukatif.
 
Menurut Busyro, gerakan-gerakan tersebut untuk mengisyaratkan kesan seolah-olah pimpinan KPK terpecah. Cara ini tak hanya menyesatkan dan tak mendidik, tapi juga tak perlu ditanggapi. "Kalau saya tanggapi, sama saja saya enggak educated," katanya.
 
Soal dukungan beberapa anggota Komisi Hukum terhadap salah seorang pimpinan KPK tertentu, Busyro pun emoh menanggapi. "Kami merasa tidak perlu menanggapi dukungan dari siapa pun juga kepada dia karena tidak relevan," katanya.
 
Menurut Busyro, seseorang yang bekerja di KPK harus insaf bahwa dia mengemban amanat yang mulia dan harus menjaga marwah. "Marwah orang KPK, pertama jujur, yang kedua independen, dan ketiga transparan, dan terakhir akuntabel. Kalau keempat ini ada, kami tidak menghiraukan didukung atau tidak didukung," katanya.
 
Para penegak hukum, termasuk di antaranya penyidik dan pimpinan KPK, harus mengabaikan faktor-faktor politik. "Saya pun mengabaikan faktor politik," kata dia.
 
Aneka 'Tusukan Mematikan' untuk KPK
 
Serangan adalah "makanan" sehari-hari KPK. Sejak berdiri, lembaga antirasuah ini diserang dari berbagai pihak. Inilah berbagai tusukan mematikan bagi KPK.
 
Pada September 2011, KPK menjadwalkan pemeriksaan pemimpin Badan Anggaran terkait dengan kasus suap Rp 1,5 miliar di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Mereka adalah Melchias Marcus Mekeng (Ketua Badan Anggaran) dan tiga wakilnya, Mirwan Amir, Olly Dondokambey, serta Tamsil Linrung.
 
Balasan: DPR memanggil KPK untuk membahas kewenangan mengawasi anggaran. "Lebih baik KPK dibubarkan karena saya tidak percaya adanya institusi superbody dalam demokrasi," kata Fahri Hamzah saat rapat dengan pimpinan KPK.
 
Pada Oktober 2011, Komisi Hukum DPR sepakat merevisi Undang-Undang KPK. Kewenangan yang direvisi antara lain menyadap, menyita, dan menggeledah harus seizin pengadilan.
 
Pada Juni 2009, Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi DPR bersama pemerintah sepakat bahwa pembentukan pengadilan khusus antikorupsi masuk lingkup peradilan umum.
 
Pada Desember 2009, RUU Penyadapan yang digulirkan Departemen Komunikasi dan Informatika membatasi KPK. Lembaga itu tak boleh menyadap saat menyelidiki kasus korupsi. Penyadapan harus dilakukan setelah bukti permulaan cukup. KPK harus melalui proses birokrasi yang panjang, termasuk meminta izin pengadilan untuk menyadap.
 
Pada April 2010, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan atas penghentian kasus Bibit-Chandra yang diajukan Anggodo Widjojo. Selanjutnya, pengadilan memerintahkan kasus itu segera dibawa ke pengadilan. Putusan ini berakibat kedua pimpinan KPK tersebut sibuk di persidangan daripada memburu koruptor. Ini dikenali sebagai kasus "cicak versus buaya". (IRIB Indonesia/Tempo/RM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar